Mommy Bear’s Morning Thoughts: Financial Management, Split the bill? (Bilingual)

Hi this is Mommy Bear again! I woke up a bit earlier than usual today, I normally get back to sleep but not this time. One of my good friends sent me some messages, I replied and had a little chit chat before getting ready to work.

Financial management in a mixed marriage - Izzy Bear

Long story short, she said that a guy whom she’s dating is one of those 50:50 European guys. Just like the other parts of the world, in Asia, especially Indonesia where I live, we heard about generalization for every country or tribe, in this case I want to talk about the Netherlands. Although I disagree with generalizing people. In every part of the world there will be good people and bad people. However, based on what I’ve heard, people said Dutch men are known as the tallest people in the world, but also ‘stingy’ (Please don’t get offended), that’s why people use the “Let’s go Dutch!” kinda thing, which means let’s split the bill half:half. In fact, the man that my friend is currently dating is not Dutch, but German. Oh, so it’s not just a Dutch thing, but also German thing, or probably European thing?

The 50:50 guys said a proud woman in Western Europe doesn’t want her man to pay more than 50%, because it’s about the woman’s pride. It’s so different with Indonesian culture, where mostly the man, as the leader in the family. That applies to all types of bills: the man will pay more than the wife, even if the woman is also a working wife/Mom. It’s not about the woman’s pride, but it’s more like the Husband’s responsibility as a man. However I also know some Indonesian female friends who pay more than their husband, because they earn more. So, for the Asian man who doesn’t want to pay more, they are seen as stingy by most of Indonesian women. Yet, from the European perspective, they said that those who actually ask their partner to pay way more, as opposed to splitting the bill, is such a money grabber or materialistic person.

For some people (including myself) it’s not just about money, but more about love, as naive as it sounds. I have been married to a Briton for more than 2 years now, and I think we are quite good at blending the cultural differences or adjusting - it’s the word I’ve been looking for. My friend asked me how I convinced my fiancé at the time. I told her that we discussed it and decided to be in the middle of our cultures, or make our own rules. I told my husband that in Indonesia, the Husband’s money is the wife and children’s money, but the wife’s money is not husband’s money, it’s their money or their children’s money. He kinda disagreed at first about Indonesian culture, but I told him we would switch it a bit, so the wife’s money is also his money, but only the monthly income, not the bonus or my other business. Although I never think twice to get him stuff from my bonus or my other business (additional) money. So his salary money is our money, my salary money is also our money, his work bonus and other business income is still our money,  but my work bonus and my other business income is my own money. He then agreed. We created our joint account.

Daddy Bear and I decided to save up our money together. He trusts me to manage our finances fully. Luckily, both of us have the same perspective in life. So, the key is never calculate who buys what and when. As a man he generally pays most of big things for sure, and I normally pay smaller things. But then again, we never really calculate who should pay less or more, because we pay them together. It’s not you or me, but it’s US. For me it’s the feeling that leads us to be honest and helps us to put aside our egos. When you really love someone, you won’t think negatively about them. Always try to think positive and TRUST them.

I believe if something bad happens, God always has his way to switch the situation and present us with something good again.

See you!

————————————
Judul: “Pemikiran Pagi Mommy Bear: Manajemen Keuangan, membagi tagihan?”.

Hai, ini Mommy Bear lagi! Saya bangun sedikit lebih awal dari biasanya hari ini, saya biasanya kembali tidur tetapi tidak kali ini. Salah satu teman baik saya mengirimkan saya beberapa pesan, saya menjawab dan mengobrol sedikit sebelum bersiap-siap untuk bekerja.

Singkat cerita, dia mengatakan bahwa seorang pria yang dia kencani adalah salah satu dari 50:50 orang Eropa itu. Sama seperti bagian dunia lainnya, di Asia, khususnya Indonesia tempat saya tinggal, kami mendengar tentang generalisasi untuk setiap negara atau suku, dalam hal ini saya ingin membicarakan mengenai Belanda. Meskipun saya tidak setuju dengan generalisasi orang. Di setiap bagian dunia akan ada orang baik dan orang jahat. Namun, berdasarkan apa yang saya dengar, kata orang, pria-pria Belanda dikenal sebagai orang tertinggi di dunia, tetapi juga 'pelit' (Tolong jangan tersinggung ya), itu sebabnya orang menggunakan istilah "Let’s go Dutch!”, artinya mari kita bagi tagihannya setengah : setengah. Faktanya, pria yang kawan saya saat ini kencani bukanlah orang Belanda, tetapi orang Jerman. Oh, jadi ini bukan hanya keter-Belanda-an, tetapi juga Jerman, atau mungkin Eropa?

Cowok-cowok penganut 50:50 mengatakan seorang wanita yang bermartabat di Eropa Barat tidak ingin suaminya membayar lebih dari 50%, karena ini tentang harga diri wanita itu. Sangat berbeda dengan budaya Indonesia, di mana sebagian besar laki-laki yang membayarkan, sebagai pemimpin dalam keluarga. Itu berlaku untuk semua jenis tagihan: laki-laki akan membayar lebih dari istri, bahkan jika perempuan itu juga istri yang bekerja / ibu. Ini bukan tentang harga diri wanita itu, tetapi lebih ke tanggung jawab suami sebagai pria. Namun saya juga kenal beberapa teman Indonesia yang membayar lebih dari suami mereka, karena mereka menghasilkan lebih banyak. Jadi, bagi pria Asia yang tidak ingin membayar lebih, mereka dianggap pelit bagi sebagian besar wanita Indonesia. Namun, dari perspektif Eropa, mereka mengatakan bahwa mereka yang benar-benar meminta pasangannya untuk membayar jauh lebih banyak, dan bukannya membelah tagihan, adalah orang yang mata duitan atau materialistis.

Bagi sebagian orang (termasuk saya) ini bukan hanya tentang uang, tetapi lebih banyak tentang cinta, sama naifnya kedengarannya. Saya telah menikah dengan orang Inggris selama lebih dari 2 tahun sekarang, dan saya pikir kami cukup baik dalam memadukan perbedaan budaya atau menyesuaikan diri - itu kata yang saya cari. Teman saya bertanya bagaimana saya meyakinkan tunangan saya pada saat itu. Saya mengatakan kepadanya bahwa kami mendiskusikannya dan memutuskan untuk berada di tengah-tengah budaya kami, atau membuat aturan kami sendiri. Saya memberi tahu suami saya bahwa di Indonesia, uang Suami adalah uang istri dan anak-anak, tetapi uang istri bukan uang suami, hanya milik istri sendiri atau uang anak-anak mereka. Dia agak tidak setuju pada awalnya tentang budaya Indonesia, tetapi saya mengatakan kepadanya bahwa kami akan mengubahnya sedikit, jadi uang istri juga adalah uangnya, tetapi hanya pendapatan bulanan, bukan bonus atau bisnis saya yang lain. Meskipun saya tidak pernah berpikir dua kali untuk menghadiahkannya barang-barang dari uang bonus saya atau uang bisnis saya lainnya (tambahan). Jadi intinya uang gajinya adalah uang kita, uang gajiku juga uang kita, bonus kerjanya dan penghasilan bisnis lainnya masih menjadi uang kita, tetapi bonus kerja saya dan pendapatan bisnis saya yang lain adalah uang saya sendiri. Dia kemudian setuju. Kami pun membuat akun bank bersama kami.

Daddy Bear dan saya memutuskan untuk menabung uang kami bersama. Dia mempercayai saya untuk mengelola keuangan kita sepenuhnya. Untungnya, kita berdua memiliki perspektif yang sama dalam hidup. Jadi, kuncinya adalah jangan pernah menghitung siapa yang membeli apa dan kapan. Sebagai seorang pria, ia biasanya membayar sebagian besar hal-hal besar, dan saya biasanya membayar hal-hal kecil. Tetapi sekali lagi, kita tidak pernah benar-benar menghitung siapa yang harus membayar lebih sedikit atau lebih, karena kita membayar bersama. Ini bukan kamu atau saya, tapi itu adalah KITA. Bagi saya ‘rasa’ lah yang membuat kita jujur ​​dan membantu kita mengesampingkan ego kita. Ketika kamu benar-benar mencintai seseorang, kamu tidak akan berpikir negatif tentang mereka. Selalu berusaha untuk berfikir positif dan PERCAYA kepada mereka.

Saya percaya jika sesuatu yang buruk terjadi, Tuhan selalu memiliki cara untuk mengubah situasi dan memberi kita sesuatu yang baik lagi.

Sampai jumpa!

Comments