MBMT: Live Life With No Regrets (Bilingual)

In this life we are often put in difficult positions that we have to think fast about and choose between options. At times, either we choose to follow our heart, or to follow our gut. Not every decision we make gives us the best outcome, or even worse, and it’s often a little bit too late to change our mind. We end up feeling guilty or regretting what we chose, and wondering about the ‘what if’. As the Indonesian idiom says: “Nasi sudah menjadi bubur”, means “Rice has become porridge”, there is no turning back, what has been done, cannot be undone.

Everybody has or had regrets in their lives.
I still remember my first regret in my life. It was when I was still in elementary school - I reckon I was around 9 years old back then. I was walking out of my house, wanted to go to my school friend’s house who lived nearby. As I walked through the residence’s small garden by the street, I saw a wrinkly old man walking to my direction. He seemed like he was searching for something on the ground, which I assumed the recycled trash, such as cans, bottles, etc. He appeared to me like a homeless, he did not wear any shoes or sandals, he carried a filthy ripped plastic bag. I stopped and watched him for awhile. I wish I had some money in my pocket at the time. I did not bring any. I suddenly came up with an idea, I then ran back to my house without saying anything to him. I looked for my dad’s flip-flops or sandals, and found a pair, I was running back to find him. I intended to give him a pair of flip-flops, so at least he did not have to walk with his bare-foot anymore. Unfortunately, when I came back to the same spot where he was at, he was already gone. I felt bad and cried. My regret was I was supposed to talk to him first, asking him to wait, so he knew that I was going to give him footwear. But I couldn’t think clearly at the time. Huffh. I tried to reassure myself that the old man would be fine. I only could pray that hopefully other people would see him, and help him even more than I could. That regret actually haunted me for awhile.

Izzy and her flip-flop!

I had some other regrets in my life when I was a teenager. I felt like I was supposed to focus more to my school and studied harder like I used to. My teen perspective changed a little bit, as I thought being the cool kid was better than the smart kid. I hit the night club the first time when I was 14 years old, I did not even have my ID card yet back then (The security always stopped me because I always looked so young, but I usually borrowed an older friend’s ID to enter the night clubs). I’ve been there, done that. Therefore when I was older, I could control myself more than some of my friends, not being as wild anymore, as they started to hit the night clubs quite late. I feel like every decision we made would teach some lessons in life.

Talking about regrets always leads me to think about the first time I met my husband. It’s not bad! But it turned out that one of the biggest regrets in my life was the reason how I met the love of my life. Here’s the story:

Firstly, let me start with a little information about when I met my husband for the very first time. I met him through work - you can check my love journey writings (this and that) or this one for further details. 

Before I graduated, my ex boss (ex Station Manager) from my first job as a radio broadcaster in Makassar, offered me a potential job in Jakarta that she thought would be suitable for me, as an Account Executive for a big Australian company that she was working with in Jakarta - she moved back to Jakarta a year before I moved back to Jakarta. She had been waiting for me until I finished my studies. As a fresh graduate, they actually offered me quite a good salary, more than half of the fresh graduate could get at the time (plus a car, a driver and some extra monthly money for make-up expenses). But you know what? I stupidly turned down the offer. It used to be one of the biggest regrets in my life. And you know what? I ended up working at the office who offered me a fresh graduate salary, about 1.5 million IDR lower than the one that my ex boss offered. That was quite a big difference, I felt like a complete moron. I was so naive. If I might provide a little excuse, I honestly did not have someone to ask and discuss about the offer, as most of my family were working as professionals or have their own businesses (they had no idea about the basic salary). I was single and the only person I could ask was my best-friend, who is also like my big sister from another mister. However, as she works as a diplomat, she actually did not really understand the companies’ basic salary as well. She said that’s not enough. We only compared what we received when we worked as MCs (She was my senior at Prambors radio back then), that we could get the same amount as the salary they offered me, only for talking once in a while, for two or three hours event.

I had been trying to make a peace with all the regrets in my life. I don’t regret them now! In fact, if I did not turn down the offer, I would not have worked at the UK Visa, and would not have met the love of my life! Plus I finally got promoted to be a permanent staff at the time. That’s why I always believe every cloud has a silver lining. We only can pray that hopefully every decision we have made or will make in this life are the best decision for us. I always believe that God is good, God always prepares what’s best for us. ;)

____________________

Dalam kehidupan ini kita sering berada dalam posisi sulit yang harus kita pikirkan dengan cepat dan memilih di antara pilihan. Kadang-kadang, kita memilih untuk mengikuti kata hati kita, atau mengikuti naluri kita. Tidak setiap keputusan yang kita buat memberi kita hasil terbaik, atau bahkan lebih buruk, dan seringkali agak terlambat untuk berubah pikiran. Kita akhirnya merasa bersalah atau menyesali apa yang kita pilih, dan bertanya-tanya tentang 'bagaimana jika'. Seperti ungkapan bahasa Indonesia: “Nasi sudah menjadi bubur”, tidak ada jalan kembali, apa yang sudah dilakukan, tidak bisa dibatalkan.

Setiap orang memiliki atau pernah memiliki penyesalan dalam hidup mereka.
Saya masih ingat penyesalan pertama saya dalam hidup saya. Itu ketika saya masih di sekolah dasar - saya kira saya berusia sekitar 9 tahun saat itu. Saya sedang berjalan keluar rumah, ingin pergi ke rumah teman sekolah saya yang tinggal di dekat rumah saya. Saat saya berjalan melewati taman kecil perumahan saya di pinggir jalan, saya melihat seorang lelaki tua keriput berjalan ke arah saya. Dia tampak seperti sedang mencari sesuatu di tanah, yang saya anggap sampah daur ulang, seperti kaleng, botol, dll. Dia tampak bagi saya seperti tunawisma, dia tidak memakai sepatu atau sandal apa pun, dia membawa tas plastik sobek yang kotor. Saya berhenti dan mengamatinya sebentar. Saya berharap saya punya uang di saku saya saat itu. Saya tidak membawa apapun. Saya tiba-tiba mendapat ide, saya kemudian lari kembali ke rumah saya tanpa mengatakan apapun padanya. Saya mencari sandal jepit atau sandal ayah saya, dan menemukan sepasang, saya berlari kembali untuk menemukannya. Saya bermaksud untuk memberinya sepasang sandal jepit, jadi setidaknya dia tidak harus berjalan dengan telanjang kaki lagi. Sayangnya, ketika saya kembali ke tempat yang sama di mana dia berada, dia sudah pergi. Saya merasa tidak enak dan menangis. Penyesalan saya adalah saya seharusnya berbicara dengannya lebih dulu, memintanya menunggu, jadi dia tahu bahwa saya akan memberinya alas kaki. Tapi saya tidak bisa berpikir jernih saat itu. Huffh. Saya mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa orang tua itu akan baik-baik saja. Saya hanya bisa berdoa semoga orang lain akan melihatnya, dan membantunya lebih dari yang saya bisa. Penyesalan itu sebenarnya menghantui saya untuk sementara waktu.


Saya memiliki beberapa penyesalan lain dalam hidup saya ketika saya masih remaja. Saya merasa saya seharusnya lebih fokus ke sekolah saya dan belajar lebih keras seperti dulu. Perspektif remaja saya berubah sedikit dulu, karena saya pikir menjadi anak yang keren lebih baik daripada anak yang pintar. Saya pergi ke klub malam pertama kali ketika saya berusia 14 tahun, saya bahkan belum memiliki kartu identitas saya saat itu (Petugas keamanan selalu menghentikan saya karena saya selalu terlihat sangat muda, tetapi saya biasanya meminjam KTP teman yang lebih tua untuk masuk ke klub malam). Saya sudah pernah berada di posisi itu, melakukan hal itu. Oleh karena itu ketika saya lebih tua, saya dapat mengendalikan diri saya lebih dari beberapa teman saya, tidak menjadi liar lagi, karena mereka mulai menginjak ke klub malam agak terlambat. Saya merasa setiap keputusan yang kita buat akan mengajarkan beberapa pelajaran dalam hidup.

Bicara tentang penyesalan selalu membuat saya teringat pertama kali bertemu suami saya. Itu tidak buruk! Tapi ternyata salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya adalah alasan bagaimana saya bertemu dengan cinta dalam hidup saya. Begini ceritanya:

Pertama, izinkan saya memulai dengan sedikit informasi tentang ketika saya bertemu suami saya untuk pertama kalinya. Saya bertemu dengannya melalui pekerjaan - Kamu dapat memeriksa tulisan perjalanan cinta saya (ini dan itu  atau yang ini untuk detail lebih lanjut.

Sebelum saya lulus kuliah, mantan bos saya (mantan Station Manager) dari pekerjaan pertama saya sebagai penyiar radio di Makassar, menawari saya pekerjaan potensial di Jakarta yang menurutnya cocok untuk saya, sebagai Account Executive di sebuah perusahaan besar Australia tempat dimana dia bekerja di Jakarta - dia pindah kembali ke Jakarta setahun sebelum saya pindah kembali ke Jakarta. Dia telah menunggu saya sampai saya menyelesaikan studi saya. Sebagai lulusan baru, mereka benar-benar menawari saya gaji yang cukup baik, lebih dari separuh yang lulusan baru bisa dapatkan pada saat itu (ditambah mobil, supir, dan sejumlah uang bulanan tambahan untuk biaya make-up). Tapi tahu tidak? Saya dengan bodohnya menolak tawaran tersebut. Dulu itu salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya. Dan tahukah kamu? Saya akhirnya bekerja di kantor yang menawari saya gaji lulusan baru, sekitar Rp 1,5 juta lebih rendah dari yang ditawarkan mantan bos saya itu. Perbedaannya cukup besar. Saya merasa seperti orang tolol. Saya sangat naif. Jika saya mungkin memberikan sedikit alasan, sejujurnya saya tidak memiliki seseorang untuk ditanya dan membahas tentang tawaran tersebut, karena sebagian besar keluarga saya bekerja sebagai profesional atau memiliki bisnis sendiri (mereka tidak tahu tentang gaji pokok). Saya masih lajang dan satu-satunya orang yang bisa saya tanyai waktu itu adalah sahabat saya, yang juga seperti kakak perempuan saya dari bapak yang berbeda. Namun, dia bekerja sebagai diplomat, sebenarnya dia juga tidak begitu memahami gaji pokok perusahaan. Dia bilang itu tidak cukup. Kami hanya membandingkan apa yang kami terima ketika kami bekerja sebagai MC (Dia senior saya di radio Prambors saat itu), bahwa kami bisa mendapatkan jumlah yang sama dengan gaji yang mereka tawarkan kepada saya, hanya untuk berbicara sesekali, selama acara dua atau tiga jam.

Saya telah mencoba untuk berdamai dengan semua penyesalan dalam hidup saya. Saya tidak menyesali mereka sekarang! Faktanya, jika saya tidak menolak tawaran tersebut, saya tidak akan bekerja di UK Visa, dan tidak akan menemukan cinta dalam hidup saya! Ditambah saya akhirnya dipromosikan menjadi staf tetap saat itu. Itu sebabnya saya selalu percaya bahwa setiap awan memiliki lapisan perak. Kita hanya bisa berdoa semoga setiap keputusan yang telah atau akan kita buat dalam hidup ini adalah keputusan terbaik untuk kita. Saya selalu percaya bahwa Tuhan itu baik, Tuhan selalu mempersiapkan yang terbaik untuk kita. ;)

Comments