Daddy Bear came back from his client’s house in the Senayan area. One of the richest people in Indonesia, and when I say the richest, it means their family have had multinational companies for years, they have their own office buildings (skyscrapers), and they can afford to pay so much for the best education for their kids etc. He said they talked about holidays, since the Christmas holiday and New Year’s are coming. The teenage boy assumed that at least we fly business class every time we travel. Daddy Bear answered “Of course, not!”, That’s for sure, I don’t think we are in that position to fly business everywhere. Maybe once in a while, but definitely not every time we fly (at least, not yet). He was like “how does it feel like flying coach?” LOL.
He’s never flown coach (economy class) in all his life: he’s been rich since he was born, even back to their parents’ parents. They fly with business class (the cheapest), or first class, and private jet when they travel far. No wonder, considering how much money they have. Although they’re from Upper Class family though, Daddy’s clients are so humble: the client (the Mom) was even still using iPhone 6, before she changed it to iPhone 11 last time, because the phone was finally broken. Much respect for that.
Today, I want to discuss about socio-economic classes in Indonesia, especially in Jakarta, the capital city where I live. It’s mainly based on my experience and my point of view. When we talk about rich, everyone’s definition of rich is probably not the same. People on the street with a motorbike might see a guy who drives a Mercedes Benz on the road as super rich. However in Indonesia, it might be true, but importantly, it might not be. In Indonesia, the phenomenon of people showing more than they have makes it even more unclear. People living beyond their means. So many people have become very consumptive, they even force themselves for the sake of their image, they want to look rich. As the Indonesian proverb says “Besar pasak dari pada tiang”.
The English idiom says “Don’t bite off more than you can chew”.
Many people are trying hard to impress other people, using most of their money to buy expensive stuff, even though they actually can’t afford them yet. What I mean is that they see their balance, and don’t account for the fact that they have to live, or save. They just feel the need to be more than they are, to make an impression based on material factors. I’m not here to judge, it’s their money, however my point is when people drive a Mercedes Benz, it doesn’t always mean they are that super rich - maybe they’re actually from a middle or working class family, but they bought their car with almost all of their money, or from installments, or from bank credit. These kinds of people are not the super rich, or part of the upper hierarchies, but are maybe middle class, or perhaps even working class who have come across the money through, shall we say, less ‘honest’ means. Such as the power of ‘want’ over ‘need’.
Karl Marx, Max Webber, W. Lloyd Werner (American), and European experts have their own classifications. However, I want to discuss about socio-economic classifications from my point of view, based on what I’ve read and my experience as an observer:
Upper Class
This class is for people who are the richest or super wealthy; they own multinational companies, and these might be generational. These families normally are very well educated. They are the ones who don’t have to think twice when buying expensive stuff, they don’t have to pay installments for the sake of buying luxurious houses, cars, watches, bags - they can afford all of them in cash.
Middle Class
This class is much broader, and comprises two more distinct divisions. One half of this classification is broadly comprised of people who are well-educated, and have a good income, yet don’t have much money or many assets, but are still considered as middle class. Their focus is perhaps educational, therefore most of their income is spent for education, rather than material things. People from this class don’t have as much, but enough. Another side of this classification are people who are perhaps not well-educated, however they have been working hard to be in this position, they own some assets, maybe they are running some businesses, or have a good salary and stable income. They may have achieved some upwards social mobility because of their hard work, and find themselves in the middle classes.
Working Class
This class is also incredibly broad and is defined largely by occupation. It’s for people who earn a quite good money, whether they are educated or not educated, as long as they have a stable income. They own assets from installment, or bank credit, they normally still have loans to pay off.
Lower Class
This class is for people who are not educated, do not have stable income, might be jobless, or work once in a while. They normally receive donations from other people for living.
In Indonesia many people from the middle and working classification are trying hard to look like upper class people, or trying to climb to the upper class society. For what? For the sake of impressing other people? They force themselves to buy high-end stuff that is actually more suitable for upper class people with expendable incomes. No offense. I mean, it doesn’t matter, as long as they use their own money, not ‘other people’s money’ (loans, or corrupt money) for the sake of showering themselves with luxurious things. As long as they do not harm to other people, it’s their choice of living. But for me, and my family, we prefer to live our lives as it is. I prefer to buy things according to our income and savings. It’s okay to give ourselves some appreciation once in a while, as long as we don’t force it, or try to impress other people.
A quick question: Which one do you prefer? Looking rich, but poor, OR rich, but looking poor?
I’m sure some of you won’t choose any of them. As for me, I prefer to look as I am.
SO, do you know what socio-economic classification you are? Do you have such rigid guidelines for social roles, or are you more flexible? Hope this is useful.
Always be grateful and be real! Have a great weekend, folks!
——————————
Daddy Bear kembali dari rumah kliennya di kawasan Senayan. Salah satu orang terkaya di Indonesia, dan ketika saya mengatakan yang terkaya, itu berarti keluarga mereka telah memiliki perusahaan multinasional selama bertahun-tahun, mereka memiliki gedung perkantoran (gedung pencakar langit) sendiri, dan mereka mampu membayar mahal untuk pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka, dll. Dia bilang mereka membicarakan tentang liburan, karena liburan Natal dan Tahun Baru akan datang. Si remaja laki-laki berasumsi bahwa paling tidak kami terbang dengan kelas bisnis setiap kali kami bepergian. Daddy Bear menjawab “Tentu saja, tidak!”, pastinya, saya rasa kami tidak berada dalam posisi itu untuk terbang dengan kelas bisnis ke mana-mana. Mungkin sesekali, tapi yang pasti tidak setiap kali kami terbang (setidaknya, belum). Dia bertanya "bagaimana rasanya terbang dengan kelas ekonomi?" Hahaha.
Dia tidak pernah terbang dengan kelas ekonomi sepanjang hidupnya: dia sudah kaya sejak lahir, bahkan kembali ke orang tua orang tua mereka. Mereka terbang dengan kelas bisnis (yang paling murah), atau first class, dan jet pribadi bila mereka bepergian jauh. Tak heran, mengingat berapa banyak uang yang mereka miliki. Meskipun mereka berasal dari keluarga Kelas Atas, klien Daddy sangat rendah hati: si klien (sang Ibu) bahkan masih menggunakan iPhone 6, sebelum terakhir kali dia menggantinya ke iPhone 11, karena handphone-nya akhirnya rusak. Sangat salut akan hal itu.
Hari ini saya ingin membahas tentang kelas sosial ekonomi di Indonesia, khususnya di Jakarta, ibu kota tempat saya tinggal. Ini terutama didasarkan pada pengalaman dan sudut pandang saya. Ketika kita berbicara tentang kaya, definisi kaya setiap orang mungkin tidak sama. Orang-orang di jalan dengan sepeda motor mungkin melihat orang yang mengendarai Mercedes Benz di jalan sebagai orang super kaya. Namun di Indonesia, itu mungkin benar, tetapi yang terpenting, bisa jadi tidak. Di Indonesia, fenomena orang yang menunjukkan lebih dari yang mereka miliki membuat hal itu semakin tidak jelas. Orang yang hidup di luar kemampuan mereka. Begitu banyak orang menjadi sangat konsumtif, bahkan memaksakan diri demi citra, ingin terlihat kaya. Seperti kata pepatah Indonesia “Besar pasak dari pada tiang”.
Ungkapan bahasa Inggris mengatakan "Jangan menggigit lebih dari yang bisa kamu kunyah".
Banyak orang berusaha keras untuk mengesankan orang lain, menggunakan sebagian besar uang mereka untuk membeli barang-barang mahal, meskipun sebenarnya mereka belum mampu membelinya. Yang saya maksud adalah mereka melihat keuangan mereka, dan tidak memperhitungkan fakta bahwa mereka harus hidup, atau menabung. Mereka hanya merasa perlu untuk menjadi lebih dari mereka, membuat kesan berdasarkan faktor material. Saya di sini bukan untuk menilai, itu uang mereka, namun maksud saya adalah ketika orang mengendarai Mercedes Benz, itu tidak selalu berarti mereka super kaya - mungkin mereka sebenarnya dari keluarga kelas menengah atau pekerja, tetapi mereka membeli mobil mereka dengan hampir semua uang mereka, atau dari cicilan, atau dari kredit bank. Orang-orang semacam ini bukanlah orang super kaya, atau bagian dari hierarki atas, tetapi mungkin kelas menengah, atau bahkan mungkin kelas pekerja yang telah menemukan uang melalui, harus kita katakan, cara yang kurang 'jujur'. Seperti kekuatan 'keinginan' atas 'kebutuhan'.
Karl Marx, Max Webber, W. Lloyd Werner (Amerika), dan pakar Eropa memiliki klasifikasinya sendiri. Namun, saya ingin membahas tentang klasifikasi sosial ekonomi dari sudut pandang saya, berdasarkan apa yang saya baca dan pengalaman saya langsung sebagai pengamat:
Kelas Atas
Kelas ini untuk orang-orang yang paling kaya atau super kaya; mereka memiliki perusahaan multinasional, dan ini mungkin bersifat generasi. Keluarga-keluarga ini biasanya berpendidikan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang tidak perlu berpikir dua kali ketika membeli barang-barang mahal, mereka tidak perlu membayar cicilan demi membeli rumah mewah, mobil, jam tangan, tas - mereka mampu membeli semuanya secara tunai.
Kelas Menengah
Kelas ini jauh lebih luas, dan terdiri dari dua divisi yang lebih berbeda. Separuh dari klasifikasi ini secara umum terdiri dari orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan memiliki penghasilan yang baik, namun tidak memiliki banyak uang atau banyak aset, tetapi masih dianggap sebagai kelas menengah. Fokus mereka mungkin pendidikan, oleh karena itu sebagian besar pendapatan mereka dihabiskan untuk pendidikan, bukan materi. Orang-orang dari kelas ini tidak punya banyak, tapi cukup. Sisi lain dari klasifikasi ini adalah orang-orang yang mungkin tidak berpendidikan, namun mereka telah bekerja keras untuk berada di posisi ini, mereka memiliki beberapa aset, mungkin menjalankan beberapa bisnis, atau memiliki gaji yang bagus dan pendapatan yang stabil. Mereka mungkin telah mencapai mobilitas sosial ke atas karena kerja keras mereka, dan mendapati diri mereka berada di kelas menengah.
Kelas Pekerja
Kelas ini juga sangat luas dan sebagian besar ditentukan oleh pekerjaan. Ini untuk orang-orang yang berpenghasilan cukup bagus, apakah mereka berpendidikan atau tidak, selama mereka memiliki pendapatan yang stabil. Mereka memiliki aset dari cicilan, atau kredit bank, biasanya mereka masih memiliki pinjaman untuk dilunasi.
Kelas Bawah
Kelas ini diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak berpendidikan, tidak memiliki penghasilan tetap, mungkin tidak memiliki pekerjaan, atau bekerja sesekali. Mereka biasanya menerima sumbangan dari orang lain untuk hidup.
Di Indonesia banyak orang dari golongan menengah dan pekerja yang berusaha keras untuk terlihat seperti orang kelas atas, atau mencoba naik ke masyarakat kelas atas. Untuk apa? Demi membuat orang lain terkesan? Mereka memaksakan diri untuk membeli barang-barang kelas atas yang sebenarnya lebih cocok untuk orang-orang kelas atas yang pendapatannya bisa habis. Tanpa bermaksud menyinggung. Maksud saya, tidak masalah, selama mereka menggunakan uang sendiri, bukan 'uang orang lain' (pinjaman, atau uang korupsi) untuk kepentingan menghujani diri dengan barang-barang mewah. Selama mereka tidak merugikan bagi orang lain, itu adalah pilihan hidup mereka. Tetapi bagi saya, dan keluarga saya, kami lebih suka menjalani hidup apa adanya. Saya lebih suka membeli barang sesuai dengan pendapatan dan tabungan kami. Tidak apa-apa untuk memberi apresiasi pada diri sendiri sesekali, selama kita tidak memaksakannya, atau mencoba membuat orang lain terkesan.
Sebuah pertanyaan cepat: Mana yang lebih kamu pilih? Tampak kaya, tetapi miskin, ATAU kaya, tetapi tampak miskin?
Saya yakin beberapa dari kamu enggan memilih salah satunya. Bagi saya, saya lebih memilih terlihat apa adanya.
JADI, tahukah kamu apa klasifikasi sosial ekonomi-mu? Apakah kamu memiliki pedoman yang kaku untuk peran sosial, atau apakah kamu lebih fleksibel? Semoga bermanfaat.
Selalu bersyukur dan apa adanya! Semoga akhir pekan kamu menyenangkan, teman-teman!
Comments
Post a Comment